Labuan Bajo, Investigasi.info —
Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang seharusnya menjadi forum mencari solusi atas maraknya privatisasi pantai di Labuan Bajo, berubah menjadi arena adu jotos. Insiden memalukan ini terjadi di Ruang Paripurna DPRD Manggarai Barat, Senin (28/4/2025), ketika Ketua LPPDM Marsel Ahang dan Kepala BTNK Hendrikus Rani Siga terlibat baku pukul di tengah rapat.
Kericuhan bermula saat Kepala BTNK tengah menyampaikan jawaban atas serangkaian tuntutan aktivis soal pembangunan di kawasan konservasi Taman Nasional Komodo. Belum selesai bicara, Marsel Ahang menyela dengan nada keras.
“Cukup sudah penjelasan Anda! RDP ini seperti sandiwara, jauh dari substansi persoalan!” seru Ahang.
Tak terima, Hendrikus Rani Siga melangkah turun dari podium sambil berteriak, “Diam kau! Kau ini seperti preman!” Kedua tokoh yang seharusnya menjadi representasi dialog sipil ini malah mempertontonkan kekerasan fisik di hadapan publik. Aksi saling serang itu baru berhenti setelah anggota DPRD dan para aktivis turun tangan melerai.
Akibat kejadian ini, rapat dihentikan sementara selama 30 menit. Namun kericuhan ini membuka tabir persoalan yang lebih besar: ketidakmampuan pemerintah daerah dan pusat melindungi ruang publik dari kerakusan kapital.
Pemerintah Daerah Dinilai Cuci Tangan
Dalam rapat tersebut, kritik tajam juga disampaikan oleh Ketua Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Cabang Manggarai Barat, Dr. Bernadus Barat Daya. Ia menegaskan bahwa maraknya privatisasi pantai dan ruang laut adalah buah dari kelalaian sistemik antara pemerintah pusat dan daerah.
“Selama ini Pemkab Manggarai Barat hanya melempar tanggung jawab ke pusat. Kalau ditanya soal izin, jawabannya selalu: 'Kami hanya melaksanakan, izin dari pusat.' Ini bentuk cuci tangan!” kecam Dr. Bernadus.
Ia mengingatkan bahwa kewenangan eksekusi di lapangan tetap berada di tangan pemerintah daerah. "Yang punya wilayah itu daerah, bukan pusat. Mereka harusnya tegas menolak kalau ada pelanggaran," ujarnya.
Menurutnya, lemahnya pengawasan terhadap AMDAL dan Tata Ruang dalam proses perizinan hanya memperparah kerusakan tata kelola wilayah, yang ujungnya akan menghancurkan keberlanjutan pariwisata Labuan Bajo.
Dugaan Gratifikasi dan Desakan Investigasi
Tak berhenti pada kritik, sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak DPRD Manggarai Barat untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki dugaan praktik gratifikasi dalam penerbitan izin hotel-hotel yang merampas pantai rakyat.
Ketua Formap Manggarai Barat, Rafael Taher, bahkan menyebut adanya indikasi kuat kongkalikong antara investor dan aparat.
“Ada 11 hotel yang pada 2017 sudah kena sanksi denda, tapi prosesnya tidak pernah transparan. Ada hotel yang membangun hingga bibir pantai, padahal mereka mengaku batas tanahnya 100 meter dari pantai. Ini tidak masuk akal kecuali ada permainan di bawah meja!” ungkap Rafael.
Rafael mendesak DPRD untuk tidak sekadar menjadi penonton, melainkan aktif membongkar persoalan ini hingga ke akar, termasuk membawa temuan ke ranah hukum: Kepolisian, Kejaksaan, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rakyat Melawan Ketidakadilan
RDP kali ini menghadirkan banyak pihak dari organisasi masyarakat sipil, di antaranya ISKA, PMKRI Cabang Labuan Bajo, LPPDM, Formap Mabar, dan Forum Masyarakat Bersama Mabar. Mereka hadir bukan hanya membawa suara keresahan, tetapi juga sebagai representasi perlawanan terhadap perampasan ruang hidup.
Skandal privatisasi pantai di Labuan Bajo adalah bukti betapa hak publik diperdagangkan di atas meja birokrasi. Kekerasan di ruang rapat hari ini menjadi cermin suram betapa ruang demokrasi kita telah kehilangan wibawa — bukan hanya karena adu jotos, tetapi karena negara gagal berdiri tegak di sisi rakyat.
By : (DJOHANESBENTAH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar